Jumat, 21 September 2012

Cerpen Gaib

Wandy Wahandy termenung sendiri menatap berlembar-lembar catatan kecil untuk besok. Kertas yang berisi ratusan huruf yang memadati hampir seperti tak memiliki spasi. Kadang ia tertawa sendiri melihat apa yang ia lakukan. Tumpukan buku di meja belajarnya hanya teronggok tak berdaya selesainya ia buka-buka untuk memenuhi lembaran kertas.
“Haha.. betapa ruwetnya tulisanku, seperti gerombolan semut yang mengerubungi makanan tapi.. ahh.. bukankah setidaknya semut masih bisa berbaris teratur?? Lalu bagaimana dengan apa yang ku lakukan?? Tapi sudahlah..” Wandy duduk di kursi dan melanjutkan menulis.

“Hey.. nak!! Apakah di tempat mu menuntut ilmu juga diajarkan seperti itu??” Tanya seorang wanita berparas pucat kepada seorang anak gundul di sudut kamar Wandy.

“Ahh.. tentu saja tidak. Kenapa??” Gundul itu bermain dengan kepiting sawah yang ia temukan tempo hari.
“Heran saja melihat itu. Bukankah mereka lebih pandai dari kaum kita tapi kenapa tindakan mereka lebih rendah dari kita??”
“sudahlah. Itu bukan urusan kita. Lantas apa yang akan kau lakukan mengetahui tindakan mereka yang seperti itu?? Mau protes??? Ikut demo yang berujung anarkis?? Atau demo yang ujung-ujungnya terima uang saku?? Apa bedanya kau dengan mereka??”
“bukan seperti itu. Hanya saja aku menyayangkannya.” “Maksudmu??” Gundul memperhatikan wanita berambut panjang itu yang sedang menyisir rambut kusutnya.
“Kesempurnaan yang tersia-sia.” Jawab wanita itu.
PLAAKKK!!!! Bersamaan dengan itu wanita berambut panjang mengaduh. Gundul meringis dengan alat pemukul lalat di tangan kanannya.
“Apa yang kau lakukan terhadap kepalaku??”
“Hehehe.. itu ada kutu di kepalamu. Maksudku kan biar kutunya mati.”
“Dasarrr gundul sableng.” Selepas perkataannya itu, wanita itu lenyap dan gundul tertawa panjang karena hal barusan. 
***
Gadis berpakaian bak lepet itu memainkan pinggulnya yang menarik semua pandangan ke arahnya terutama kaum adam. Dirapikannya bajunya yang pendek dari debu yang menempel.

“wandy!!!!” teriaknya saat melihat Wandy yang berjalan di depannya. Wandy menoleh dan tersenyum genit.
“ahh kau rupanya. Ada apa memanggilku??” Mata Wandy tak bosan menatap sekujur tubuh sexy yang kini sejajar dengan langkahnya.
“Hehehe… nie ada bakwan, ada roti, ada aja…” Gadis itu mengerling nakal.
“Bagaimana persiapanmu untuk ujian terakhir ini??” Gadis itu memoles wajahnya dengan bedak dan perona pipi. Wandy tersenyum dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu memperlihatkannya tepat di depan muka gadis itu.
“Ini apa, Wan??”

“Nah, lihatlah ini Rina Murina.” Wandy memegang kembali kertas kecil itu dan sedikit menghentakkannya. Gadis yang dipanggil Rina itu terperangah dan seperti lupa menutup mulutnya saat melihat betapa panjangnya kertas yang semula dikira catatan kecil.
“Gila kau, Wan. Ahaha….” Rina menggelengkan kepala. Di sudut lain wanita berparas pucat dan si gundulu memperhatikan Wandy dan Rina. Gundul segera turun dari gendongan wanita itu saat wanita itu berhenti mendadak.
“Eh, mbak kunti.. apa pula yang dilakukan gadis menor itu?? Wajahnya sudah seperti topeng saja terlebih pakaiannya yang acak kadut.”
“Ndul, apa yang dipoleskan gadis itu diwajahnya?? Itu tak ada saat aku masih hidup seribu tahun lalu.”
“Ahh.. kau ini kan setan kuno. Mana kenal barang macam begitu. Kau memakai pun tak kan ada yang melirikmu. Ahahaa… jadi setan yang tahu diri dong??!! Hehehe…” wanita itu tak menggubris omongan si Gundul. Ia menghampiri Rina dan menarik tasnya lalu menumpahkan isi tas tepat saat seorang guru lewat.
“Heyyy jangan sembarangan dong. kalau jalan pakai mata dong!!??” ucap Rina keras dan sedikit kaget.
“Rin… Rin.. Rina..” Wandy tergagap memanggil Rina.
“Kalau jalan ya pakai kaki dong, Rin. Kalau pakai mata nanti jumpalitan..” Rina yang semula memunguti isi tasnya yang berserakan kini mendadak berhenti memunguti dan mendongak.
“Kau ini mau sekolah atau buka salon?? Tas kok isinya alat make up dan teman-temannya.”
“Ya kan biar tidak terlihat kucel, bu. Bisa dibilang kan seharian kita di sekolah jadi barang semacam ini diperlukan untuk menyegarkan. Hehe…” Rina berdiri dan membiarkan beberapa barangnya masih tercecer.
“Perona pipi, mascara, roll rambut, bedak, parfum dan apa itu???” Dahi ibu guru mengkerut heran lalu diambilnya barang yang menjuntai kabel cukup panjang.
“Kenapa kau membawa barang ini?? Kau benar-benar mau membuka salon atau toko elektronik??” sambung ibu guru.
“Ahaha… untuk apa Rin kaku bawa solder??”
“Apa?? Ini solder??? Ku pikir hair dryer.” Ucap Rina polos dengan garuk-garuk kepala.
“Kau ini ada-ada saja.” Kata ibu guru kemudian mengurut dada dan bergegas pergi.
Kunti dan gundul terkekeh melihat adegan itu. Kunti sebenarnya tak mengerti tapi ia rasa ada yang lucu sehingga ia ikut tertawa saat Gundul tertawa.
“Memangnya kau mengerti??”
“Mengerti apa, Ndul??”
“Tadi..”
“Tidak. Hehe.. memangnya apa??” Kunti yang sudah uzur tapi berwajah awet muda semenjak mati hingga sekarang masih dengan kepolosannya.
“Haduw… kau ini. Di bumi terkena pemanasan global tapi kau malah terkena pembodohan global. Ckckckck.”
“Ayolah, jelaskan padaku. Gundul baik deh.” Kunti merayu Gundul.
“Oh iya, hair dryer dan solder itu apa???” tanyanya lagi pada Gundul.
“Hahahahahahaa….. hahaha……” Wandy tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Gundul dan kunti langsung menoleh kearah Wandy.
“Diam dan perhatikan saja mereka.” Perintah Gundul pada Kunti. Kunti mengangguk dan segera melakukan apa yang diucapkan Gundul.
“Ku kira kau sudah lebih pintar ternyata pentiummu masih setengah. Ahaha….”
“Apaan sih??” Rina cemberut.
“Masa kau tak bisa membedakan antara solder dan hair dryer?? Ahahha….”
“Tapi bukan salahku. Kemarin aku titip beli hair dryer pada sepupuku, tadi pagi sebelum berangkat sekolah aku ambil. Katanya itu pengering rambut.”
“Mau-mau saja kau dibodohi sepupumu itu atau kalian sama-sama tak tahu hair dryer itu seperti apa tapi sotoy pura-pura tahu. Dasarrr… kalau mau gaul jangan ‘ngoyo’ dong.”
“Ahh, kamu juga sotoy. Aku curiga. Kamu kok tahu tentang barang kayak gitu?? Jangan-jangan sering pake ya?? Siang Wandy tapi kalau malam Wance. Ahahaha…”
“sialan kau!!?? Sana kau keringkan rambutmu pake solder langsung hangus.” Wandy ngeloyor pergi tanpa mendengarkan umpatan Rina. Kunti mengangguk tersenyum mendapati apa yang ia tanyakan tadi.
“Bagaimana??” Tanya gundul.
“Hahaha… manusia jaman sekarang aneh. Sudah bagus masih di beri umur tapi malah di sia-siakan seperti itu. Aku saja yang sudah mati ingin hidup lagi.”
“Itu takdir Tuhan. Tak usah kau berharap sesuatu yang keluar dari garisNYA.” Gundul tersenyum dan berlalu sembari menggandeng tangan Kunti.
*****

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Katakan katamu (~‾ ▽‾)~