Ujian telah usai, kini kegiatanku di sekolah hanya mengisi jam-jam kosong. Seperti biasa, pulang sekolah saat terik di siang hari membuat kami melakukan kebiasaan yang vacum karena rintangan-rintangan yang harus kami lalui (istilah kerennya ujian akhir hheehhe). Aku, si keriting Dwi dan si jangkung Bagus telah memesan es cendol langganan kami. Kami masih menunggu satu teman kami yang tertinggal. Tampak seorang cowok berpostur ideal menyapa kami.
“Hai, udah lama nunggu ya?”
“Ga kok. Belum sampe kering nungguin kamu. Dasar ngaret.” Sahutku jengkel. Cowok yang baru datang itu Eko, ia Cuma meringis. Es cendol bang Maman memang yahut, kami jarang melewatkan es cendol ini.
“Bang, kas bon yee. Hehehe…” celetuk Bagus. Bang Maman tersenyum.
“Iya, tapi ada bunganya ya tiap hari.”
“Yee abang. Kayak rentenir aja. Bokek nih, bang.” Kali ini Dwi menimpali.
“Yang kemarin aja belum bayar kok udah mau kasbon.” Ku rogoh sakuku, mencari lembaran dan menyodorkannya kepada bang Maman.
“Makasih. Tu kayak Rafi dong, dermawan mau bayarin.” Bang Maman tersenyum geli. Kami berempat seperti biasa pulang melewati sawah padahal ada jalan pintas menuju rumah. Ada yang menanam padi, jagung dan palawija.
“Eh, itu ada timun.” Dwi menunjuk ke satu arah, serempak mata kami melihat kearah yang sama. Berbinar mata kami melihat timun yang terlihat segar itu.
“Ngambil yuk, mumpung yang punya lagi tidur di gubuk.” Ajak Bagus. Yang lain saling pandang meminta pendapat.
“Kalo ntar ketauan baru tau rasa kamu. Dosa tau.” Bisikku. Aku hanya tersenyum geli melihat tampang teman-temanku yang bingung. Eko malah asyik menghitung kancing.
“Ngapain kamu, Ko? kurang kerjaan aja pake ngitung kancing segala.” Tanyaku heran. Ia meringis.
“Aku minta pertimbangan sama kancing bajuku. Hehheee…..” Ia kembali fokus menghitung kancing. Si Dwi dan Eko malah sibuk bertengkar sendiri.
“Cepetan ambil.” Seru Dwi perlahan.
“Ogah ah.. ntar ketauan malah kita di timpukin pacul lagi. Tu yang punya udah siap-siap pacul.”
“Yeee itu sie emang tadi abis macul. Ah.. lama! Cepet bantuin aku mungut timun. Dwi, Eko dan Bagus memunguti timun sedangkan aku berdiri terdiam memerhatikan tingkah mereka.
“Ntar kalo kalian makan tu timun malah mules lho.”
“Gal ah, emang ni timun ada obat pencuci perutnya apa. Ngaco kamu. Ayo, mau bantuin apa ga? Sok jadi mandor aja dari tadi.”
“Ga ah, kalian aja.”
“Ya udah, yang bantuin ga dapet jatah. Jangan nyesel kamu ya..” Eko kembali sibuk dengan ‘Panen Timun’. Cukup lama aku berdiri memerhatikan mereka.
“Ehmm… huk.. huk..” Terdengar suara orang batuk. Aku menoleh saat ada tangan yang menyentuh bahuku.
“Hehehe… pak??” aku tertawa salting melihat siapa yang berada di belakangku kini. Aku mencoba memberi kode kepada ketiga temanku agar berhenti dan menoleh ke arahku tapi sia-sia, mereka telah terpesona dengan timun.
“Panen yang banyak ya.” Ucap orang itu.
“Nyuruh aja kamu, ga mau ikut bantuin aja sok nyuruh.” Sedetik kemudian Bagus merasakan ada keanehan pada suara yang tadi ia dengar. Ia melihat ke belakang, menatapku. Ia terbelalak dan memanggil kedua temanku yang lain. Kompak mereka bertiga melihat aku dan bapak itu. Tanpa perlu di komando lagi mereka naik ke pematang sawah lalu ke gubuk.
“Sebagai hukuman, kalian harus menyiangi kebun timun bapak karena kalian telah mengambil timun bapak tanpa ijin.”
“Apa???!!!” seru kami berempat keget. Bapak itu tertawa puas.
“Besok pagi kalian kemari, besok hari minggu pasti kalian libur. Itu hukuman. Kalau kalian ingin mengambil timun ya ambil saja tapi ijin terlebih dahulu.”
“Iya pakkkk…” kami menjawab pasrah.
“Kalian laki-laki kan? Harus bisa menepati janji.” Ucapnya dengan suara berat.
Keesokan harinya, kami berempat ke sawah yang sama. Mencari bapak itu untuk melaksanakan hukuman. Beliau tengah menyiangi rumput. Peluh di wajahnya bercucuran menandakan betapa lelahnya beliau.
“Pakkk…” sapa kami, beliau tersenyum.
“Sini. Cepat kerjakan.”
“Harusnya aku ga dapet jatah kayak yang kamu bilang kemarin. Ga dapet jatah hukuman. Hehehehe…. Tapi Karena aku baik ya bantuin kalian. Hehehe…” ujarku.
“Eee… tapi kamu kan ikut. Mau lari dari tanggung jawab ya??” selidik Dwi kocak. Eko melempariku dengan kerikil. Kami melaksanakan hukuman dengan terpaksa (awalnya) tapi lama-lama kami pun menikmatinya di selingi gurauan. Cabut sana, cabut sini. Membabat habis rumput yang mengganggu tanaman timun. Mentari semakin terik, bapak itu memanggil kami ke gubuknya.
“Ini minum dulu, kalian pasti lelah.” Bergantian kami meneguk air kendi. Sejuk terasa mengalir di tenggorokan. Kami melepas lelah sejenak. Angin semilir membawa rasa letih kami.
“Kalian ini yang sering lewat sini kan? Bapak sering melihat kalian.” Bapak berkumis tipis itu memulai pembicaraan.
“Iya, pak. Maaf kami telah mengambil timun bapak tanpa ijin.”
“Iya. Asal kalian jangan mengulanginya lagi.” Kami mengangguk di beri nasehat bapak petani yang baru kami tau bernama Khosir ini. Ia berperawakan tambun dan berkulit sedikit gelap. Tampak sosok kebapakan di wajahnya.
“Sebelum pulang nanti, kalian boleh mengambil timun sesuka kalian.”
“Semuanya boleh, pak? Hehe…” celetuk Bagus.
“Yee… emang kamu mau ngambil apa ngerampok?” sahut Eko
“Hehehe…. Semuanya boleh.” Jawab Pak Khosir. “Tapi bayar.” Sambungnya kemudian. Kami tertawa bersama, ternyata bapak ini ramah. Hukuman yang beliau berikan mengajarkan sesuatu kepada kami. Pulang dari sawah, kami menenteng timun yang kami dapat karena hukuman atau bukan hukuman tapi pembelajaran, ehmm.. hukuman merupakan bagian dari pembelajaran bukan? Hehehe…..
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Katakan katamu (~‾ ▽‾)~