Rabu, 19 Februari 2014

Cerita Simfoni Hujan (#Versi 1)

Panggil saja aku hujan. Bagaimanapun definisi kalian tentangku, yang jelas aku adalah ketika langit menumpahkan air begitu melimpah kepada bumi setetes demi setetes secara serentak. Aku datang bersama awan gelap tapi bukan petang bukan pula malam, terkadang aku datang tanpanya, bisa jadi bersama malam atau dengan temanku yang bernama matahari.
Aku selalu tak tentu, tergantung perintah dari Sang Penguasa Semesta yang kalian panggil “Tuhan”. Sering aku datang perlahan dengan mengirimkan beberapa pertanda akan datangnya diriku, tapi tak jarang pula aku datang secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Makhluk yang disebut manusia selalu menyimpan memori tentangku. Aku merekam berbagai moment tentang manusia. Seringnya berkaitan dengan hati, perasaan dan lebih tepatnya adalah cinta. Jangan tanyakan bagaimana definisi cinta dan berharap aku dapat menjabarkannya pada kalian. Aku hanyalah hujan tapi konon kata para insan sesepuh, cinta itu tak terdefinisi atau cinta itu memiliki banyak definisi.. Entahlah aku juga lupa tepatnya, aku hanya mendengarkan sepotong dan sekilas sambil lalu. Toh apa urusanku dengan semua itu ?

Baiklah, aku ceritakan sedikit tentang memori manusia yang terekam olehku.
Pertama, saat itu Tuhan memerintahku untuk mengalunkan melodi alam dengan deras. Sepasang kekasih sedang berteduh di teras sebuah toko, sepertinya mereka pasangan baru. Bagaimana aku tahu ? Mudah saja, aku menebaknnya dari sikap si wanita terhadap si pria. Wajah si wanita nampak bingung menatap si pria, seolah ingin melakukan sesuatu tapi urung dilakukan dengan segera. Akhirnya dengan canggung, si wanita mengusap tetesan air di wajah dan rambut si pria yang kuyup oleh nada-nadaku yang mengalun deras. Si pria kaget tersipu sekaligus senang, tak kalah dari si pria, si wanitapun dengan cepat menarik tangannya dan melemparkan senyum malunya. Mereka bersikap kaku tapi nampak sekali benih-benih perasaan yang mulai tumbuh diantara mereka.

Kedua, aku melakukan tugas sesuai jadwal yang telah ditentukan. Aku menciptakan simfoni dengan kadar biasa. Bersamaan dengan itu, seorang gadis tengah terisak menahan perih di tubuhnya. Lebam dan ringkih tubuhnya, ia tertatih. Tangisnya tak kentara karena nadaku mengalun bersama air mata di pipinya. Hanya isakan tertahan yang kudengar samar. Gadis itu memakiku, karena menurutnya aku ini menambah rasa muram di hatinya. Katanya, nadaku sangat miris menyayat hatinya yang sudah terluka parah. Dia katakan, simfoniku lebih mirip lagu pengantar kematiannya. Aku tak mengerti. Mendungku bercerita padaku, bahwa sebelumnya gadis itu tengah bertengkar dengan kekasihnya dan si gadis dihajar habis-habisan kemudian ditinggal begitu saja. Dan aku hadir dengan alunanku mengiringi tangis lukanya. Ironis memang, di era secanggih ini masih saja kelakuan bar-bar macam itu dibiarkan menjamur.

Ketiga, Hariku bercerita, bahwa ada seorang gadis tanggung yang menantikan kehadiranku. Ia telah berdoa sepanjang hari untuk dapat bertemu denganku. Kebetulan hari ini aku memang ada jadwal untuk tampil. Nada yang kualunkan memiliki ritme dan tempo yang teratur. Tak ada nada terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Tepat sore hari, simfoni ciptaanku telah mengumandang. Benar saja kata si Hari, gadis itu melonjak girang menuju halaman rumah. Ia berdiri, kepalanya mendongak dengan bibir tersenyum seolah senyumnya itu adalah hadiah yang dipersembahkan untukku. Dia menari kesana kemari melompat dan berlari masih dengan senyum itu, tersenyum lega. Aku tidak tahu kenapa dia sampai begitu. Tiba-tiba dia berkata, “Kau tahu, berat sekali kurasakan hidup ini. Sering aku berpikir kehadiranmu adalah untuk menyembunyikan air mataku tapi sekarang aku menyadari bahwa aku nyaman ada bersamamu karena kamu bisa mengendapkan amarah di dalam diriku dengan tetes-tetesmu yang menyegarkan, karena lagumu yang mendamaikan dan karena aku lelah memanfaatkanmu sebagai persembunyianku..” Tanpa aku bertanya, ia telah lebih dulu mengungkapkan arti senyumnya padaku.

Ketiganya memiliki beda perasaan terhadapku, dan apa peduliku ? Aku tak punya kepentingan terhadap mereka, aku hanya menjalankan tugasku dengan semestinya terlepas bagaimana makhluk bernama manusia itu menilaiku.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Katakan katamu (~‾ ▽‾)~