Jumat, 13 Maret 2015

Tuan Nano

Tak seperti biasanya, aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membaca surat darimu. Mataku dengan nakal menghujani wajahku dengan air dan memperburuk penglihatanku. Kupikir mataku teralu lelah untuk menguras sumber airnya karena sejak kemarin malam menangis hingga roda-roda bus berputar cepat membawaku kembali ke kotaku. Salah, sampai saat jemariku menari diatas keyboard masih saja deraian air jatuh diatas tempat tidurku.  Sampai akhirnya ada private number yang menelponku. Kamu. MHA. Satu jam
mendengarkan suaramu. Cepat sekali waktu habis. Dan sempat-sempatnya lagi aku menangis. Uh, betapa cengengnya aku. Ah ya, sebelum matamu membaca deretan kata dariku sebaiknya kukatakan terlebih dahulu bahwa ini akan menjadi tulisan yang panjang, maka dari itu siapkanlah waktu dan tempat yang baik agar yang kusampaikan akan benar-benar terserap dengan sempurna oleh hati indahmu itu.
Semua selesai tepat diujung minggu pertama pada bulan kedua belas kita bersama. Ditempat yang indah dan suasana yang syahdu. Bukan.. bukan syahdu.. Mungkin lebih tepatnya adalah haru. Paralayang. Duduk berdua diatas ketinggian memandang lampu perkotaan. Aku hanya ingin menceritakan sepenggal kisah kita, beberapa bagian kebersamaan kita dan sekilas sosokmu yang tergurat dihidupku.
Entah bagaimana aku dapat mendeskripsikan sikapmu yang begitu kukagumi, begitu kudambakan selama ini. Sosok yang begitu kuimpikan untuk dapat kusanding. Sosok yang begitu meluluhkanku. Menghancurkan tiap keping batu yang selama ini kubangun kokoh. Menghanguskan segala pikiran licikku tentang hidupku sendiri. Banyak hal yang ingin kupelajari dari dirimu, dirimu adalah lebih dari semua buku yang pernah kubaca, dirimu adalah lebih dari semua kata yang bisa kutulis,  dirimu adalah duniaku yang belum bisa kumiliki.
Ijinkan aku menuliskan semua perasaanku tentangmu dan kisah ini dengan acak. Karena aku benar-benar tidak tahu harus memulai darimana dan berakhir dimana. Dengan kesungguhan hatiku, ijinkanlah sekali lagi aku meminta agar kamu bersabat mencerna kata-kataku.
Banyak kata yang ingin kusampaikan pada menit-menit terakhir kebersamaan kita. Dijalan menuju terminal aku bertanya padamu, “Yang, kalo aku bilang aku sayang kamu.. Kamu percaya ?” dan kamu memberiku sebuah jawaban, “Percaya..” Jawaban yang sangat melegakan hatiku. Ingin kusambung percakapan itu dengan kalimat, “Aku kangen banget sama kamu..” tapi hanya kutahan dalam hati, membiarkan rinduku dilukiskan melalui air mata. Ingin pula aku memelukmu erat sangat erat hingga mungkin kamu hampir kehabisan nafas juga menggenggam tanganmu terlalu erat hingga mungkin meninggalkan bekas kemerahan pun menciummu yang lama terlalu lama hingga mungkin menjadi ciuman paling memabukkan. Tidak mungkin kulakukan, selain hanya menahan tangis dan terdiam lalu berpamitan dengan mencium tanganmu.
Kunikmati saat memelukmu diatas laju motor yang membawa kita menerobos jalan kota malang. Tubuh kurus yang selama ini berusaha menghangatkanku dengan kesederhanaannya. Kunikmati ciumanmu dengan teramat dalam di lubuk hatiku membawaku merasuk kedalam hatimu. Juga kecupan-kecupan hangat yang mendarat di wajahku. Kunikmati setiap kata rayuanmmu sepanjang kemampuan telingaku menangkap. Rayuan yang dengan polosnya langsung menerjang menyeruak isi hatiku. Kamu melakukan semua itu dengan indah, sangat indah lengkap dengan hati yang kamu miliki.
Mengajariku banyak hal tentang bagaimana seharusnya memandang hidup yang sebenarnya sangat indah jika mampu mensyukuri. Ya, kesederhanaanmu itu yang menghipnotisku hingga akhirnya aku terjebak oleh perasaan nano nano seperti ini. Bahkan sekarang lebih hebat terasa dalam hatiku. Aku tahu akhir seperti ini akan terjadi tapi perasaan nano nano ini mengulurnya agar bisa lebih lama menikmati hatimu. Indah sangat indah. Menyenangkan terlalu menyenangkan. Bahagia sungguh bahagia. Oh indahnya hariku karenamu. Aku masih belum puas melahap nano nano dan harus menunda menikmatinya sampai nanti Tuhan ikut campur dalam urusan nano nano hamba-Nya.

“Tuhan telah mempertemukanku dengan pangeran yang sangat kuimpikan. Bayangan tentang sosok pendamping yang seketika muncul semenjak aku memahami atas yang pernah terjadi padaku di masa silam. Hanya saja Tuhan sedang menempatkanku pada peran antagonis hingga dengan kedua tanganku dengan tega menempatkan pangeranku pada situasi yang keliru. Menikam tepat di ulu hatinya. Membuat sebuah ruang hampa yang dulunya pernah terisi oleh iblis yang menjelma menjadi bidadari. Membiarkan pangeranku diliputi kesendirian yang mungkin sesekali ditemani oleh bayangku. Oh Tuhan, sesungguhnya tak ada hari yang kulewati dengan berat saat bersamanya. Oh Tuhan, sesungguhnya tak ada luka yang benar-benar tertoreh olehnya saat masih bersama. Oh Tuhan, sesungguhnya aku sangat bahagia mendapati diri ini begitu istimewa untuknya. Oh Tuhan, sesungguhnya kulakukan pada akhirnya hanya melukai diriku sendiri. Oh Tuhan, bantu pangeranku untuk bahagia. Bahagia yang menurutmu pantas untuk seorang pangeran yang Kau ciptakan dengan hati indah serta sikap yang lembut. Akupun turut menerima semua pilihan-Mu untuknya, berusaha mengiringi doa tulus dari nano nano yang kumiliki untuknya. Tuhan, jaga dia juga hatinya. Ini hanya sekelumit pinta dari seorang pesakitan untuk sang pangeran. Terimakasih, Tuhan.. Karena Engkau telah menciptakan makhluk yang indah. Karena telah mengijinkanku merasakan nano nano yang dia miliki meski hanya bak seberkas cahaya, sangat sebentar. Terima kasih pula karena kamu sudah menyayangiku dengan begitu hebatnya, pangeranku..”

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Katakan katamu (~‾ ▽‾)~