Menawar Takdir
Tuhan
Aku pernah
menawar takdir Tuhan
Diam-diam
kuselipkan dalam obrolan sepertiga malam
Dan kuakhiri
dengan uraian air mata
Aku pernah
menawar takdir Tuhan
Yang selalu
kuperbincangkan dalam 24 jamku
Dan kuakhiri
dengan jutaan harapan
Aku pernah
menawar takdir Tuhan
Hingga mungkin
Tuhan mulai bosan
Dan inilah
jawaban
Bahwa aku tak
perlu lagi cemaskan
Bahwa tawaranku
telah diterima sepenuhnya
Bahwa semua
dalam kebaikan Tuhan
NB: Dalam
catatan Lalita menjelang habisnya tahun ketika cintanya pergi sekaligus datang
dalam waktu bersamaan. Sebuah kertas yang diselipkan dalam buku agenda
bersampul kulit sapi di sebuah laci lemari yang terkunci rapat.
********
Aku harus berdamai dengan kehidupanku 13 tahun belakangan ini.
Menghadapi realita pahit yang selalu membayangi hari-hariku. Ketika tangan
mereka yang terulur bak malaikat dimataku ternyata tak ubahnya iblis
menjijikkan. Ketika tutur mereka yang terlontar bak mutiara dalam lautan tak
ubahnya hanya kotoran berserakan. Ketika laku mereka yang tampak bak bangsawan
tak ubahnya hanya gelandangan.
Tuhan, sejujurnya akupun ingin memaafkan. Aku ingin terbebas dari semua rasa buruk
ini. Tapi perasaanku terlanjur hancur disaat masih ranum. Dan aku menghancurkan
diri. Aku ingin mulai berdamai tapi aku takut kembali merasa sakit dan tak
berharga. Sakit sekali kurasa. Sangat sakit. Bahkan sebaik apapun yang
kulakukan tak akan mampu menghapus penilaian rendah yang telah mereka berikan
padaku. Bukan sekedar penilaian, Tuhan. Lebih dari itu.
Karena itulah aku tidak bersahabat dengan
kota ini. Kota ini
menyimpan banyak keburukanku. Kota ini banyak menghadiahiku dengan kado-kado
yang terlalu berkesan menusuk ulu hati. Neraka semakin terasa dekat saat
roda-roda bus yang aku tumpangi ini melewati gapura selamat datang bertuliskan ‘Kudus Kota Kretek’. Panas makin menyengat dasar ingatanku saat kakiku melangkah
menapaki aspal jalan raya. Sendiri menunggu di teras pos polisi dekat pintu
terminal. Termangu aku menatap jalanan yang beberapa tahun terakhir sangat
akrab denganku.
“Mau kemana?” Seseorang berteriak padaku. Kepalaku menoleh dan mataku
sibuk menjelajahi sekitar. Seorang bapak berkumis mengenakan seragam biru telur
asin tampak mengeryitkan dahi.
“Mau pulang, pak. Menunggu jemputan.” Jawabku setelah membuka
masker. Iya, aku selalu memakai masker kemanapun aku pergi. Selain karena udara
berdebu yang mengganggu pernapasan juga karena aku merasa lebih nyaman
menyembunyikan wajahku dengan masker.
“Nunggunya disini aja, disitu panas. Sini duduk disini! Biasanya
juga kesini..” Terlihat tangan beliau mengangkat bangku panjang dan menunjukkannya
padaku. Kakiku melangkah perlahan menghampiri lalu duduk.
“Gimana kuliahnya?” Tanya beliau tanpa basa-basi.
“Baru magang, pak.. Hehehehe.. Masih 1 bulan lagi. Setelah itu
KKN.” Jawabku sembari membuka masker. Aku sudah cukup akrab dengan beliau.
Setiap kali aku pulang ke kota ini dan kebetulan bertemu beliau, kami selalu
mengobrol. Bahkan dihadapan orang-orang, beliau mengakuiku sebagai anak
perempuannya.
“Skripsinya kapan kalo gitu? Anak bapak sudah wisuda lho beberapa
bulan lalu. Gimana?”
“Ya, saya sih santai saja pak. Selesaikan KKN dulu baru setelahnya
skripsi. Hehehhe..”
“Ya sudah kalau begitu.. Bapak doakan lancar ya, cepat lulus dan
dapet kerjaan yang bagus. Oh ya, kemarin bapak pergi mancing di dekat rumahmu.”
“Kemarin saya belum pulang, pak. Hehehehehe.. “
“Tapi kapan-kapan boleh mampir kan sama anak bapak? Atau kamu mau
main kerumah bapak?”
“Hehehehe.. silahkan mampir, pak.” Aku tersenyum menjawab
pertanyaan beliau. Sejujurnya, aku selalu menghindar ketika beliau mulai
berusaha memperkenalkanku dengan anaknya. Bukan soal anaknya yang tidak baik,
justru kelihatannya orangnya itu memiliki prospek yang bagus. Lulusan S1
jurusan BK walaupun hanya universitas swasta di kota asalku. Aku hanya punya
satu alasan yang tidak bisa kuutarakan pada bapak dishub di sebelahku ini.
“Mau bapak kenalin ke anak bapak? Kenalan dulu ga apa-apa, kalo
cocok bisa dilanjutkan.. Kalo ga ya jadi temen aja. Gimana? Nanti dia bapak
suruh maen ke rumahmu.” Ini tawaran yang kesekian kali dari beliau yang
diberikan padaku. Aku tersenyum lebar menanggapi beliau. Tidak tahu apa yang
harus kukatakan. Akhirnya obrolan kami terputus oleh deru knalpot motor adikku.
Aku bersalaman dan pamit untuk pulang.
**********
Malam ini dia datang kerumahku, sama seperti biasanya. Aku hanya
menyambutnya dengan biasa juga, tanpa make up dan tentu pakaian rumahan yang
melekat dibadanku sedangkan dia rapi dengan kemeja lengan panjang dan celana
jeans-nya. Kami duduk di kursi panjang ruang tamu. Dia hanya diam, akupun ikut
diam. Situasi seperti ini sudah bisa ditebak. Ini akan berakhir dengan
kemarahanku karena
diamnya bukan diam yang mengenakkan hati. Aku menyiapkan telinga.
“Beb..” Penggilnya tanpa memandangku.
“Heemmmm.. ya..” Jawabku malas. Kusibakkan
poni yang menutupi sebagaian mataku. Perlahan aku menoleh kearahnya, sepasang
mata kami bersitatap. Oh mata itu lagi, mata yang paling kubenci. Mata yang
selalu memencarkan luka. Mata yang selalu seolah mencoba menghakimiku. Mata
yang mendorongku untuk selalu merasa bersalah secara mendalam. Ahirnya aku
menundukkan kepala. Menghirup napas dalam-dalam, menghimpun segalanya.
“Sudahlah.. kita akhiri saja hubungan ini.
Tak ada yang pantas kamu pertahankan.” Aku memulai pembicaraan. Kalimat yang
entah untuk ke berapa kalinya telah aku ucapkan selama hampir 4 tahun bersamanya. Dan tentu aku sudah
hafal jawabannya.
“Beb, kamu ngomong apa sih? Aku gak mau. Kita bangun hubungan ini
udah 4 tahun. Susah seneng kita bareng. Aku berjuang buat kamu. Kamu gak bisa
akhiri hubungan ini gitu aja.”
“Aku gak pantes buatmu, beb.. Lihat semuanya dengan jelas!” Nada
bicaraku mulai berat.
“Aku terima kamu apa adanya. Aku gak pernah lihat masa lalumu
karena itu hanya milikmu. Dan aku bertanggungjawab atas semua janjiku ke kamu,
aku gak bisa ingkari meskipun kamu yang minta.”
“Aku minta putus.”
“Aku gak mau. Tenangin dirimu, beb.. Kamu itu lagi emosi. Jangan
gini.. Aku tau kalo kamu sebenernya sayang banget sama aku. Apa yang kamu
khawatirkan sebenarnya?”
“Kamu lupa dengan semua yang udah terjadi? Kamu pikir aku gag cukup
tau diri untuk melupakan itu dan seolah tanpa dosa seenaknya aku diperjuangkan
olehmu. Aku cukup tau dimana level harga diriku saat ini. “
“Kamu selalu indah untukku, beb. Kamu selalu menjadi prioritasku.
Kamu selalu menjadi wanita terhebatku. Sejak awal hingga saat ini, tak ada
satupun yang bisa mengubah penilaianku itu.”
“Kamu gag tau rasanya menjadi orang yang kotor, beb.. 13 tahun aku
berkubang dengan noda ini, bahkan mungkin aku telah bersahabat begitu erat.
Kamu gag akan mudah memahami ini hanya dalam waktu 4 tahun mengenalku.” Sebutir
air menetes dipangkuanku yang tak lama kemudian disusul butir-butir yang lain.
Aku terisak pelan. Sudut mataku menangkap pandangan iba darinya, seorang pria
yang telah 4 tahun menemaniku.
“Ditambah lagi kekeliruanku beberapa bulan lalu.. Fatal, beb. Aku
barang bekas yang dilempar dari satu pengepul ke pengepul yang lain. Aku gag
pantes buatmu..” Isakku tertahan. Sangat menyesakkan dada. Rasanya hatiku
ditarik-tarik paksa untuk keluar dari tempatnya. Kemudian diremas-remas kuat hingga
hatiku tak ubahnya seperti balon yang kehilangan udara. Ya Tuhan..
Putuskanlah hubungan ini. Tak mungkin pria sebaik ini harus berdampingan dengan
sampah sepertiku. Batinku.
Malam ini berakhir dengan isakanku. Sama seperti yang sudah-sudah.
Aku meminta berhenti dan ia memaksa berlanjut. Tak memiliki ujung. Hubungan ini
sudah mirip neraka bagiku. Kupandangi langit-langit kamar yang bersih bercat
putih. Pikiranku melayang mencoba menerawang. Jika masih boleh sampah ini
menyebut nama-Mu, Tuhan.. Jika masih boleh aku mengaku sebagai hamba-Mu,
Tuhan.. Aku ingin menawar takdirku dimulai dari 13 tahun yang lalu. Jika
diperbolehkan, aku akan membuat rencananya malam ini.. Bolehkah, Tuhan?Aku
masih terisak pelan dalam hati.
************
Namanya Wima. Seorang karyawan perusahaan telekomunikasi. Hobinya
adalah mendaki gunung. Setiap kali mengobrol dengannya tak pernah lepas dari
gunung. Berbagai gunung ia daki hingga aku sulit menghafalkan nama gunungnya.
Yang aku hafal adalah ia sering mendaki Rinjani, gunung di daerahnya berasal. Ia sangat bersemangat mengajakku menikmati
Rinjani, menawarkan keindahan Segara Anak. Ia 4 tahun lebih tua dibanding denganku. Seperti saat ini, aku
menikmati puncak Kentheng Songo dengannnya dan kedua temannya. Demi memuaskan
hasrat kami terhadap Merbabu, kami hingga menginap dua malam disini.
Setiap pagi dan sore, ia membuatkanku segelas susu cokelat hangat
yang ia siapkan dalam gelas kesayanganku. Lalu membawakan tasku ketika aku
lelah berjalan padahal carier-nya sendiri sudah sangat berat. Dan dia
pula koki kami. Dia yang memakai sleeping bag tipisku sedangkan aku
tentu memakai sleeping bag-nya
yang tebal dan hangat. Dia rela tanpa jaket demi menjagaku agar tetap hangat.
Aku memakai jaket tebal rangkap dua. Karena saat pendakian itu aku nyaris
terkena hipotermia beberapa kali.
Katanya, “Baru kali ini, tujuanku mendaki gunung bukanlah
mencapai puncaknya.. tapi menjagamu agar selalu baik-baik saja.” Ia lontarkan kalimat itu ketika aku nyaris
terperosok saat melewati tanjakan frustasi dan kedinginan. Tanjakan frustasi
adalah sebutan dari para pendaki untuk track yang sangat curam dan hanya
dibantu dengan seutas tali, kemiringannya sekitar 60° ditambah lagi jalan yang licin akibat hujan dan pandangan yang
terhalang kabut. Kami menaklukan tanjakan frustasi dari sore hari hingga malam
hari, sebenarnya mereka bisa melakukan dengan waktu singkat namun menjadi
sangat lambat karena melihat kondisiku.
Ini pagi terakhir kami berdiam di tenda. Ia memintaku untuk
memasak. Aku memasak tumis buncis dan sambal serta menggoreng ikan asin. Tentu
saja bagian ikan asin itu atas permintaan mereka karena aku memang tak suka
ikan asin. Kami duduk berempat diatas matras sambil memandangi langit bergumpal
yang begitu dekat dengan mata kami. Senang melihat mereka sangat lahap.
“Ta, kamu tau apa tujuan kami mendaki gunung?” Kata mas Chun. Aku
menoleh dan menghentikan kunyahanku sesaat.
“Emm... tentu saja puncaknya. Apalagi emang? Hihihi...”
“Bener banget. Itu ibaratnya, dalam hidup itu kita pasti punya
tujuan. Dan mencapai tujuan itu butuh usaha dan lelah. Tapi kalo udah sampai
tujuan itu rasanya warbiyasaaahhh!!! Huuaaahhh...” Kalimatnya ditutup dengan
rasa pedas sambal yang ia colek.
“Kalo menurutmu gimana, Ta? Setelah ikut kami mendaki.. Apa yang
kamu rasain?” Sahut mas Ijal.
“Aku jadi mengenal diriku, mas.. Aku jadi tau gimana caraku bekerja
dalam kehidupanku ini.”
“Ciieee.. yang makin kenal diri sendiri.. Kapan kenal sama keluarga
Wima? Hahahaha...” Telak. Aku dibuat speechless dengan ucapan mas Chun.
Aku melirik cowok disebelahku yangs sedang
asyik senyum sendiri menyeruput kopinya.
“Yang disindir lagi minum kopi, mas. Pura-pura budek tuh.
Hihihihi...” Susu coklat hangat ini menyentuh bibirku.
“Tuh kamu belum jawab pertanyaan si Ijal. Ditungguin noh..” Cowok
berambut gondrong keriting ini menimpali.
“Wima pernah
bilang kalo gunung membuat kita
mengenal diri sendiri. Disini kita gak bisa berbohong tentang diri kita. Disini
adalah kita yang sebenarnya. Dan yang kurasa jika ku cocokkan dengan
kehidupanku selama ini ya... Ketika aku sedang mengusahakan sesuatu, sering
merasa ingin berhenti tapi entah kenapa selalu gag bisa berhenti. Selalu maju
jalan terus dan akhirnya aku bisa mencapai tujuanku.” Aku meletakkan gelasku
dan memandang langit dengan kagum.
“Dan aku tahu bahwa yang sebenarnya aku inginkan bukan berhenti
tapi beristirahat sejenak. Karena aku memang
harus menggapai tujuanku.” Sambungku.
“Hahaha.. Ini bocah kalo sok dewasa lucu ya. Hahaha.. Gak nyangka, Wim..
Pacar kamu ini udah semester 7. Hahaha.... Kalo dari tampang sama kelakuan
masih kayak bocah banget pacaran sama kamu yang cueknya abis-abisan. Bisa gitu
dipersatukan..” Cerocos mas
Chun disambut gelak tawa Mas Ijal.
“Jangan gitu, Chun.. Kasian kan dibully, kecil sendiri nih.
Hahahaha... Emangnya
kita pacaran, yang?” Wima menoleh padaku dengan ekspresi
lucunya.
“Gak.” Ketusku dengan cemberut.
“Hahahaha.. Jangan ngambek gittulah, malu
aku kalo mau manjain ayang di depan mereka. Kasian mereka juga, liatin
kemesraan kita. Hahahahaha…”
“Tapi seneng deh liat kalian. Lucu banget. Kamu kan gak pernah
sampe kayak gini pas sama yang dulu-dulu. Hahaha... Tuh Ijal saksinya.” Mas
Ijal menganggukkan kepala menyatakan setuju.
“Emang dulu Wima kayak gimana kalo sama ceweknya, mas? Ceritain ke
aku dong..” Rengekku.
“Gitulah. Punya cewek kayak gak punya
cewek. Mau-maunya aja tuh cewek dijadiin pacar si Wima. Hahahaha…” Ijal
menyahut.
“Wah, teman
buruk kalian ini. Pulang dari Merbabu, ada yang cemburu buta nanti. Hahahahha…”
Ucap Wima.
“Diihhh…” Singkatku.
“Udah
gag usah tau, ntar ayang malah kepikiran trus. Jangan mancing gitu lah, Chun..
Aku nanti yang susah abis pulang dari sini. Hahahaha... Rumah tangga
berantakan..” Suara tawa bergemuruh meramaikan beranda tenda.
“Aaaaa... aku pengen tauuuuuuu...” Aku menarik lengan baju Wima.
Mas Chun dan Ijal tertawa menyoraki kami berdua.
Seusai makan, kami meninggalkan tenda sebentar untuk melakukan tracking menuju
puncak Kentheng Songo. Puncak hanya berjarak beberapa kilometer dari tenda,
meski begitu hujan dan kabut membuatku nyaris terkena hipotermia lagi.
Mas Chun memintaku untuk terus bergerak agar menghasilkan panas
tubuh, aku berjalan tertatih dipapah Wima dan mas Chun. Membutuhkan waktu dua
kali lipat dari waktu normal untuk mencapai puncak. Perjuangan panjang dan
melelahkan terbayar dengan sebuah papan berwarna kuning yang tengah diangkat
tinggi oleh pendaki lain dengan bertuliskan ‘TN Gunung Merbabu Puncak Kentheng
Songo’. Ada
beberapa rombongan pendaki yang sudah menikmati puncak dari berbagai sudut.
Kami saling menyapa ramah antar sesama pendaki dan berbagi makanan atau
minuman. Ini satu poin yang menarik bagiku, meski tidak saling mengenal tapi
pendaki-pendaki ini ramah seolah sudah akrab bersahabat sangat lama. Saling
tegur sapa dan tolong menolong selalu menyertai perjalanan dari awal hingga
akhir.
Setelah dari puncak, kami packing, tugas sudah dibagi. Aku hanya disuruh duduk menunggu sementara
mereka melipat tenda dan memunguti sampah untuk dibawa ikut turun. Lagi-lagi hanya akulah yang diberi keringanan, para pria itu yang
menggendong dua tas besar berisi sampah dan carrier yang berisi sebagian
alat pendakian kami. Saat ini tengah hujan gerimis dan kabut. Sebelum melakukan perjalanan kembali, Wima
mengoleskan minyak angin di telapak kakiku. Lalu memakaikan syal,
sarung tangan, kaos kaki dan topi dari bahan rajut padaku. Tak lupa
ditempelkannya koyo di batang hidungku agar menjaga nafasku tetap hangat. Lalu
kami berdiri membuat lingkaran kecil dan memanjatkan doa
agar diberi keselamatan.
**********
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif
atau berada diluar jangkauan.. Mohon hubungi…” Untuk ke 46 kalinya suara itu terdengar di speaker
HP Aruna. Dahinya berkerut, sedari tadi hanya mondar mandir.
“Mas
kenapa terlihat seperti orang kebingungan? Ada masalah apa, mas?” Tanya Sandhi
yang tengah menyapu lantai. Yang ditanya hanya menoleh lesu dan mengangkat bahu
sebagai jawaban.
“Sebaiknya mas Aruna pulang saja. Urusan toko serahkan pada saya.
Mas seperti kurang istirahat, pucat sekali.”
“Iya, San. Aku pulang ya.” Kakinya melangkah pelan menghampiri
motor dan mengendarainya dengan cepat.
Rumah sepi, hanya ia seorang diri. Segelas jus alpukat kesukaannya
sudah tinggal setengah. Jarinya tak berhenti menari diatas layar HP Touchscreen.
Beberapa kali ia mendengus kesal.
Lagi-lagi jawaban yang sama. Ini sudah yang ke 56 kalinya ia mencoba.
Pesan bbm hanya menunjukkan centang pun dengan Whatsapp, sms juga
pending. Entah berapa ratus pesan yang ia kirimkan tanpa balasan satupun.
Bertanya kesana kemari tak ada yang tahu. Nihil. Sama sekali tak ada kejelasan.
Makin bingunglah ia. Cemas, khawatir dan marah bercampur jadi satu.
“Lalita.... Ini sudah hari ketiga kamu gak ada kabar. Sebenarnya
apa yang terjadi?” Diusapnya foto gadis berambut panjang yang terpampang di wallpapernya.
Terbesit pikiran untuk menyusul gadisnya ke Solo tapi dipikirnya lagi, disini
ia masih ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Tangannya kembali mencari
sebuah nama dalam kontaknya. Tertulis sebuah nama ‘W’ hanya satu huruf.
Tut tut tut. Selalu demikian. Tak bisa dihubungi. Berkali-kali ia
mencoba dan hasilnya sama. Timbul kecurigaan dihatinya. Pikirannya lelah,
hatinya tak karuan. Terasa mendidih badannya, keringat dingin mengucur deras
membasahi kemeja. Akhirnya ia jatuh lemas di kursi ruang tamu.
**********
Tulisan ini sebenarnya ada 110 halaman, hanya bagian pembukaan (10 halaman pertama) yang aku unggah ke blog. Ini adalah novel pertama yang bisa aku tuntaskan hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Sebuah karya di penghujung tahun 2015. Jika ingin membaca lebih lanjut bisa hubungi aku (liat bagian profil blog). Makasiihhhh :) :*
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Katakan katamu (~‾ ▽‾)~