Selasa, 29 Desember 2015

MENAWAR TAKDIR TUHAN




Menawar Takdir Tuhan

Aku pernah menawar takdir Tuhan
Diam-diam kuselipkan dalam obrolan sepertiga malam
Dan kuakhiri dengan uraian air mata

Aku pernah menawar takdir Tuhan
Yang selalu kuperbincangkan dalam 24 jamku
Dan kuakhiri dengan jutaan harapan

Aku pernah menawar takdir Tuhan
Hingga mungkin Tuhan mulai bosan
Dan inilah jawaban

Bahwa aku tak perlu lagi cemaskan
Bahwa tawaranku telah diterima sepenuhnya
Bahwa semua dalam kebaikan Tuhan



NB: Dalam catatan Lalita menjelang habisnya tahun ketika cintanya pergi sekaligus datang dalam waktu bersamaan. Sebuah kertas yang diselipkan dalam buku agenda bersampul kulit sapi di sebuah laci lemari yang terkunci rapat.


********


Aku harus berdamai dengan kehidupanku 13 tahun belakangan ini. Menghadapi realita pahit yang selalu membayangi hari-hariku. Ketika tangan mereka yang terulur bak malaikat dimataku ternyata tak ubahnya iblis menjijikkan. Ketika tutur mereka yang terlontar bak mutiara dalam lautan tak ubahnya hanya kotoran berserakan. Ketika laku mereka yang tampak bak bangsawan tak ubahnya hanya gelandangan.
Tuhan, sejujurnya akupun ingin memaafkan. Aku ingin terbebas dari semua rasa buruk ini. Tapi perasaanku terlanjur hancur disaat masih ranum. Dan aku menghancurkan diri. Aku ingin mulai berdamai tapi aku takut kembali merasa sakit dan tak berharga. Sakit sekali kurasa. Sangat sakit. Bahkan sebaik apapun yang kulakukan tak akan mampu menghapus penilaian rendah yang telah mereka berikan padaku. Bukan sekedar penilaian, Tuhan. Lebih dari itu.
Karena itulah aku tidak bersahabat dengan kota ini. Kota ini menyimpan banyak keburukanku. Kota ini banyak menghadiahiku dengan kado-kado yang terlalu berkesan menusuk ulu hati. Neraka semakin terasa dekat saat roda-roda bus yang aku tumpangi ini melewati gapura selamat datang bertuliskan ‘Kudus Kota Kretek’. Panas makin menyengat dasar ingatanku saat kakiku melangkah menapaki aspal jalan raya. Sendiri menunggu di teras pos polisi dekat pintu terminal. Termangu aku menatap jalanan yang beberapa tahun terakhir sangat akrab denganku.

“Mau kemana?” Seseorang berteriak padaku. Kepalaku menoleh dan mataku sibuk menjelajahi sekitar. Seorang bapak berkumis mengenakan seragam biru telur asin tampak mengeryitkan dahi.
“Mau pulang, pak. Menunggu jemputan.” Jawabku setelah membuka masker. Iya, aku selalu memakai masker kemanapun aku pergi. Selain karena udara berdebu yang mengganggu pernapasan juga karena aku merasa lebih nyaman menyembunyikan wajahku dengan masker.
“Nunggunya disini aja, disitu panas. Sini duduk disini! Biasanya juga kesini..” Terlihat tangan beliau mengangkat bangku panjang dan menunjukkannya padaku. Kakiku melangkah perlahan menghampiri lalu duduk.
“Gimana kuliahnya?” Tanya beliau tanpa basa-basi.
“Baru magang, pak.. Hehehehe.. Masih 1 bulan lagi. Setelah itu KKN.” Jawabku sembari membuka masker. Aku sudah cukup akrab dengan beliau. Setiap kali aku pulang ke kota ini dan kebetulan bertemu beliau, kami selalu mengobrol. Bahkan dihadapan orang-orang, beliau mengakuiku sebagai anak perempuannya.
“Skripsinya kapan kalo gitu? Anak bapak sudah wisuda lho beberapa bulan lalu. Gimana?”
“Ya, saya sih santai saja pak. Selesaikan KKN dulu baru setelahnya skripsi. Hehehhe..”
“Ya sudah kalau begitu.. Bapak doakan lancar ya, cepat lulus dan dapet kerjaan yang bagus. Oh ya, kemarin bapak pergi mancing di dekat rumahmu.”
“Kemarin saya belum pulang, pak. Hehehehehe.. “
“Tapi kapan-kapan boleh mampir kan sama anak bapak? Atau kamu mau main kerumah bapak?”
“Hehehehe.. silahkan mampir, pak.” Aku tersenyum menjawab pertanyaan beliau. Sejujurnya, aku selalu menghindar ketika beliau mulai berusaha memperkenalkanku dengan anaknya. Bukan soal anaknya yang tidak baik, justru kelihatannya orangnya itu memiliki prospek yang bagus. Lulusan S1 jurusan BK walaupun hanya universitas swasta di kota asalku. Aku hanya punya satu alasan yang tidak bisa kuutarakan pada bapak dishub di sebelahku ini.
“Mau bapak kenalin ke anak bapak? Kenalan dulu ga apa-apa, kalo cocok bisa dilanjutkan.. Kalo ga ya jadi temen aja. Gimana? Nanti dia bapak suruh maen ke rumahmu.” Ini tawaran yang kesekian kali dari beliau yang diberikan padaku. Aku tersenyum lebar menanggapi beliau. Tidak tahu apa yang harus kukatakan. Akhirnya obrolan kami terputus oleh deru knalpot motor adikku. Aku bersalaman dan pamit untuk pulang.
**********
Malam ini dia datang kerumahku, sama seperti biasanya. Aku hanya menyambutnya dengan biasa juga, tanpa make up dan tentu pakaian rumahan yang melekat dibadanku sedangkan dia rapi dengan kemeja lengan panjang dan celana jeans-nya. Kami duduk di kursi panjang ruang tamu. Dia hanya diam, akupun ikut diam. Situasi seperti ini sudah bisa ditebak. Ini akan berakhir dengan kemarahanku karena diamnya bukan diam yang mengenakkan hati. Aku menyiapkan telinga.
“Beb..” Penggilnya tanpa memandangku.
“Heemmmm.. ya..” Jawabku malas. Kusibakkan poni yang menutupi sebagaian mataku. Perlahan aku menoleh kearahnya, sepasang mata kami bersitatap. Oh mata itu lagi, mata yang paling kubenci. Mata yang selalu memencarkan luka. Mata yang selalu seolah mencoba menghakimiku. Mata yang mendorongku untuk selalu merasa bersalah secara mendalam. Ahirnya aku menundukkan kepala. Menghirup napas dalam-dalam, menghimpun segalanya.
“Sudahlah.. kita akhiri saja hubungan ini. Tak ada yang pantas kamu pertahankan.” Aku memulai pembicaraan. Kalimat yang entah untuk ke berapa kalinya telah aku ucapkan selama hampir 4 tahun bersamanya. Dan tentu aku sudah hafal jawabannya.
“Beb, kamu ngomong apa sih? Aku gak mau. Kita bangun hubungan ini udah 4 tahun. Susah seneng kita bareng. Aku berjuang buat kamu. Kamu gak bisa akhiri hubungan ini gitu aja.”
“Aku gak pantes buatmu, beb.. Lihat semuanya dengan jelas!” Nada bicaraku mulai berat.
“Aku terima kamu apa adanya. Aku gak pernah lihat masa lalumu karena itu hanya milikmu. Dan aku bertanggungjawab atas semua janjiku ke kamu, aku gak bisa ingkari meskipun kamu yang minta.”
“Aku minta putus.”
“Aku gak mau. Tenangin dirimu, beb.. Kamu itu lagi emosi. Jangan gini.. Aku tau kalo kamu sebenernya sayang banget sama aku. Apa yang kamu khawatirkan sebenarnya?”
“Kamu lupa dengan semua yang udah terjadi? Kamu pikir aku gag cukup tau diri untuk melupakan itu dan seolah tanpa dosa seenaknya aku diperjuangkan olehmu. Aku cukup tau dimana level harga diriku saat ini. “
“Kamu selalu indah untukku, beb. Kamu selalu menjadi prioritasku. Kamu selalu menjadi wanita terhebatku. Sejak awal hingga saat ini, tak ada satupun yang bisa mengubah penilaianku itu.”
“Kamu gag tau rasanya menjadi orang yang kotor, beb.. 13 tahun aku berkubang dengan noda ini, bahkan mungkin aku telah bersahabat begitu erat. Kamu gag akan mudah memahami ini hanya dalam waktu 4 tahun mengenalku.” Sebutir air menetes dipangkuanku yang tak lama kemudian disusul butir-butir yang lain. Aku terisak pelan. Sudut mataku menangkap pandangan iba darinya, seorang pria yang telah 4 tahun menemaniku.
“Ditambah lagi kekeliruanku beberapa bulan lalu.. Fatal, beb. Aku barang bekas yang dilempar dari satu pengepul ke pengepul yang lain. Aku gag pantes buatmu..” Isakku tertahan. Sangat menyesakkan dada. Rasanya hatiku ditarik-tarik paksa untuk keluar dari tempatnya. Kemudian diremas-remas kuat hingga hatiku tak ubahnya seperti balon yang kehilangan udara. Ya Tuhan.. Putuskanlah hubungan ini. Tak mungkin pria sebaik ini harus berdampingan dengan sampah sepertiku. Batinku.
Malam ini berakhir dengan isakanku. Sama seperti yang sudah-sudah. Aku meminta berhenti dan ia memaksa berlanjut. Tak memiliki ujung. Hubungan ini sudah mirip neraka bagiku. Kupandangi langit-langit kamar yang bersih bercat putih. Pikiranku melayang mencoba menerawang. Jika masih boleh sampah ini menyebut nama-Mu, Tuhan.. Jika masih boleh aku mengaku sebagai hamba-Mu, Tuhan.. Aku ingin menawar takdirku dimulai dari 13 tahun yang lalu. Jika diperbolehkan, aku akan membuat rencananya malam ini.. Bolehkah, Tuhan?Aku masih terisak pelan dalam hati.
************
Namanya Wima. Seorang karyawan perusahaan telekomunikasi. Hobinya adalah mendaki gunung. Setiap kali mengobrol dengannya tak pernah lepas dari gunung. Berbagai gunung ia daki hingga aku sulit menghafalkan nama gunungnya. Yang aku hafal adalah ia sering mendaki Rinjani, gunung di daerahnya berasal. Ia sangat bersemangat mengajakku menikmati Rinjani, menawarkan keindahan Segara Anak. Ia 4 tahun lebih tua dibanding denganku. Seperti saat ini, aku menikmati puncak Kentheng Songo dengannnya dan kedua temannya. Demi memuaskan hasrat kami terhadap Merbabu, kami hingga menginap dua malam disini.
Setiap pagi dan sore, ia membuatkanku segelas susu cokelat hangat yang ia siapkan dalam gelas kesayanganku. Lalu membawakan tasku ketika aku lelah berjalan padahal carier-nya sendiri sudah sangat berat. Dan dia pula koki kami. Dia yang memakai sleeping bag tipisku sedangkan aku tentu memakai sleeping bag-nya yang tebal dan hangat. Dia rela tanpa jaket demi menjagaku agar tetap hangat. Aku memakai jaket tebal rangkap dua. Karena saat pendakian itu aku nyaris terkena hipotermia beberapa kali.
Katanya, “Baru kali ini, tujuanku mendaki gunung bukanlah mencapai puncaknya.. tapi menjagamu agar selalu baik-baik saja. Ia lontarkan kalimat itu ketika aku nyaris terperosok saat melewati tanjakan frustasi dan kedinginan. Tanjakan frustasi adalah sebutan dari para pendaki untuk track yang sangat curam dan hanya dibantu dengan seutas tali, kemiringannya sekitar 60° ditambah lagi jalan yang licin akibat hujan dan pandangan yang terhalang kabut. Kami menaklukan tanjakan frustasi dari sore hari hingga malam hari, sebenarnya mereka bisa melakukan dengan waktu singkat namun menjadi sangat lambat karena melihat kondisiku.
Ini pagi terakhir kami berdiam di tenda. Ia memintaku untuk memasak. Aku memasak tumis buncis dan sambal serta menggoreng ikan asin. Tentu saja bagian ikan asin itu atas permintaan mereka karena aku memang tak suka ikan asin. Kami duduk berempat diatas matras sambil memandangi langit bergumpal yang begitu dekat dengan mata kami. Senang melihat mereka sangat lahap.
“Ta, kamu tau apa tujuan kami mendaki gunung?” Kata mas Chun. Aku menoleh dan menghentikan kunyahanku sesaat.
“Emm... tentu saja puncaknya. Apalagi emang? Hihihi...”
“Bener banget. Itu ibaratnya, dalam hidup itu kita pasti punya tujuan. Dan mencapai tujuan itu butuh usaha dan lelah. Tapi kalo udah sampai tujuan itu rasanya warbiyasaaahhh!!! Huuaaahhh...” Kalimatnya ditutup dengan rasa pedas sambal yang ia colek.
“Kalo menurutmu gimana, Ta? Setelah ikut kami mendaki.. Apa yang kamu rasain?” Sahut mas Ijal.
“Aku jadi mengenal diriku, mas.. Aku jadi tau gimana caraku bekerja dalam kehidupanku ini.”
“Ciieee.. yang makin kenal diri sendiri.. Kapan kenal sama keluarga Wima? Hahahaha...” Telak. Aku dibuat speechless dengan ucapan mas Chun. Aku melirik cowok disebelahku yangs sedang asyik senyum sendiri menyeruput kopinya.
“Yang disindir lagi minum kopi, mas. Pura-pura budek tuh. Hihihihi...” Susu coklat hangat ini menyentuh bibirku.
“Tuh kamu belum jawab pertanyaan si Ijal. Ditungguin noh..” Cowok berambut gondrong keriting ini menimpali.
Wima pernah bilang kalo gunung membuat kita mengenal diri sendiri. Disini kita gak bisa berbohong tentang diri kita. Disini adalah kita yang sebenarnya. Dan yang kurasa jika ku cocokkan dengan kehidupanku selama ini ya... Ketika aku sedang mengusahakan sesuatu, sering merasa ingin berhenti tapi entah kenapa selalu gag bisa berhenti. Selalu maju jalan terus dan akhirnya aku bisa mencapai tujuanku.” Aku meletakkan gelasku dan memandang langit dengan kagum.
“Dan aku tahu bahwa yang sebenarnya aku inginkan bukan berhenti tapi beristirahat sejenak. Karena aku memang harus menggapai tujuanku.” Sambungku.
“Hahaha.. Ini bocah kalo sok dewasa lucu ya. Hahaha.. Gak nyangka, Wim.. Pacar kamu ini udah semester 7. Hahaha.... Kalo dari tampang sama kelakuan masih kayak bocah banget pacaran sama kamu yang cueknya abis-abisan. Bisa gitu dipersatukan..” Cerocos mas Chun disambut gelak tawa Mas Ijal.
“Jangan gitu, Chun.. Kasian kan dibully, kecil sendiri nih. Hahahaha... Emangnya kita pacaran, yang? Wima menoleh padaku dengan ekspresi lucunya.
“Gak.” Ketusku dengan cemberut.
“Hahahaha.. Jangan ngambek gittulah, malu aku kalo mau manjain ayang di depan mereka. Kasian mereka juga, liatin kemesraan kita. Hahahahaha…”
“Tapi seneng deh liat kalian. Lucu banget. Kamu kan gak pernah sampe kayak gini pas sama yang dulu-dulu. Hahaha... Tuh Ijal saksinya.” Mas Ijal menganggukkan kepala menyatakan setuju.
“Emang dulu Wima kayak gimana kalo sama ceweknya, mas? Ceritain ke aku dong..” Rengekku.
“Gitulah. Punya cewek kayak gak punya cewek. Mau-maunya aja tuh cewek dijadiin pacar si Wima. Hahahaha…” Ijal menyahut.
Wah, teman buruk kalian ini. Pulang dari Merbabu, ada yang cemburu buta nanti. Hahahahha…” Ucap Wima.
“Diihhh…” Singkatku.
Udah gag usah tau, ntar ayang malah kepikiran trus. Jangan mancing gitu lah, Chun.. Aku nanti yang susah abis pulang dari sini. Hahahaha... Rumah tangga berantakan..” Suara tawa bergemuruh meramaikan beranda tenda.
“Aaaaa... aku pengen tauuuuuuu...” Aku menarik lengan baju Wima. Mas Chun dan Ijal tertawa menyoraki kami berdua.
Seusai makan, kami meninggalkan tenda sebentar untuk melakukan tracking menuju puncak Kentheng Songo. Puncak hanya berjarak beberapa kilometer dari tenda, meski begitu hujan dan kabut membuatku nyaris terkena hipotermia lagi. Mas Chun memintaku untuk terus bergerak agar menghasilkan panas tubuh, aku berjalan tertatih dipapah Wima dan mas Chun. Membutuhkan waktu dua kali lipat dari waktu normal untuk mencapai puncak. Perjuangan panjang dan melelahkan terbayar dengan sebuah papan berwarna kuning yang tengah diangkat tinggi oleh pendaki lain dengan bertuliskan ‘TN Gunung Merbabu Puncak Kentheng Songo’.  Ada beberapa rombongan pendaki yang sudah menikmati puncak dari berbagai sudut. Kami saling menyapa ramah antar sesama pendaki dan berbagi makanan atau minuman. Ini satu poin yang menarik bagiku, meski tidak saling mengenal tapi pendaki-pendaki ini ramah seolah sudah akrab bersahabat sangat lama. Saling tegur sapa dan tolong menolong selalu menyertai perjalanan dari awal hingga akhir.
Setelah dari puncak, kami packing, tugas sudah dibagi. Aku hanya disuruh duduk menunggu sementara mereka melipat tenda dan memunguti sampah untuk dibawa ikut turun. Lagi-lagi hanya akulah yang diberi keringanan, para pria itu yang menggendong dua tas besar berisi sampah dan carrier yang berisi sebagian alat pendakian kami. Saat ini tengah hujan gerimis dan kabut. Sebelum melakukan perjalanan kembali, Wima mengoleskan minyak angin di telapak kakiku. Lalu memakaikan syal, sarung tangan, kaos kaki dan topi dari bahan rajut padaku. Tak lupa ditempelkannya koyo di batang hidungku agar menjaga nafasku tetap hangat. Lalu kami berdiri membuat lingkaran kecil dan memanjatkan doa agar diberi keselamatan.
**********
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan.. Mohon hubungi…” Untuk ke 46 kalinya suara itu terdengar di speaker HP Aruna. Dahinya berkerut, sedari tadi hanya mondar mandir.
“Mas kenapa terlihat seperti orang kebingungan? Ada masalah apa, mas?” Tanya Sandhi yang tengah menyapu lantai. Yang ditanya hanya menoleh lesu dan mengangkat bahu sebagai jawaban.
“Sebaiknya mas Aruna pulang saja. Urusan toko serahkan pada saya. Mas seperti kurang istirahat, pucat sekali.”
“Iya, San. Aku pulang ya.” Kakinya melangkah pelan menghampiri motor dan mengendarainya dengan cepat.
Rumah sepi, hanya ia seorang diri. Segelas jus alpukat kesukaannya sudah tinggal setengah. Jarinya tak berhenti menari diatas layar HP Touchscreen. Beberapa kali ia mendengus kesal.  Lagi-lagi jawaban yang sama. Ini sudah yang ke 56 kalinya ia mencoba. Pesan bbm hanya menunjukkan centang pun dengan Whatsapp, sms juga pending. Entah berapa ratus pesan yang ia kirimkan tanpa balasan satupun. Bertanya kesana kemari tak ada yang tahu. Nihil. Sama sekali tak ada kejelasan. Makin bingunglah ia. Cemas, khawatir dan marah bercampur jadi satu.
“Lalita.... Ini sudah hari ketiga kamu gak ada kabar. Sebenarnya apa yang terjadi?” Diusapnya foto gadis berambut panjang yang terpampang di wallpapernya. Terbesit pikiran untuk menyusul gadisnya ke Solo tapi dipikirnya lagi, disini ia masih ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Tangannya kembali mencari sebuah nama dalam kontaknya. Tertulis sebuah nama ‘W’ hanya satu huruf.
Tut tut tut. Selalu demikian. Tak bisa dihubungi. Berkali-kali ia mencoba dan hasilnya sama. Timbul kecurigaan dihatinya. Pikirannya lelah, hatinya tak karuan. Terasa mendidih badannya, keringat dingin mengucur deras membasahi kemeja. Akhirnya ia jatuh lemas di kursi ruang tamu.

**********
Tulisan ini sebenarnya ada 110 halaman, hanya bagian pembukaan (10 halaman pertama) yang aku unggah ke blog. Ini adalah novel pertama yang bisa aku tuntaskan hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Sebuah karya di penghujung tahun 2015. Jika ingin membaca lebih lanjut bisa hubungi aku (liat bagian profil blog). Makasiihhhh :) :*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Katakan katamu (~‾ ▽‾)~