Kali ini aku pulang dengan cerita dalam tanya, bu. Tidak seperti hari-hari kemarin ketika aku pulang dengan sumringah. Hampir sama seperti kemarin, bu. Anak gadismu ini sedang ingin bermanja. Tidur di pangkuanmu dan lembut tanganmu kan mengusap kepalaku. Pelan nada lirihmu bersenandung menenangkanku.
Aku nyaman, bu. Baiklah, aku akan bercerita jika engkau sudah memaksaku seperti ini dengan nyanyian merdumu. Ibu, apakah engkau masih ingat saat kemarin aku tersenyum menjabarkan bunga yang tengah mekar di hatiku ? Iya, bu. Hampir sama tapi tidak mirip seperti kala itu. Tentunya engkau telah mengecap asam garam perihal hati meski tak beragam seperti anakmu ini. Baiklah aku hanya akan melemparkan pertanyaan dan engkau pasti kan mengerti cerita yang hendak kusampaikan dengan klise, bu.
Mataku mulai terasa panas, pipiku pun sudah terasa basah. Katakanlah. Nafasku sudah tak beraturan, suaraku pun telah sirna. Jika itu memang benar, ibu. Aku bersyukur karena akhirnya aku mengerti konsep mencintai yang menurutku berarti memberi tanpa pamrih, tanpa berharap balasan, hanya bertujuan memberi dengan ikhlas. Pemberian yang meski diberikan terus menerus tak akan pernah bisa habis kecuali dihentikan. Seperti engkau yang mencintai anak-anakmu. Seperti Tuhan yang mencintai umat-Nya. Seperti bapak yang mencintaimu, ibu. Apakah pemikiranku itu benar, bu ? Ah, engkau tentu membenarkan karena bagimu urusan hati tidak ada yang dapat dipersalahkan.
Aku terdiam mencari penutup yang pas untuk cerita kali ini, bu. Bersabarlah sebentar. Engkau mengusap kepalaku sepanjang aku bercerita, jemarimu membelai rambut panjangku seolah hendak menghitung helai demi helai. Baiklah, ibu. Engkau berkata bahwa diriku selalu tahu yang terbaik untuk diriku sendiri, engkau berkata bahwa aku ini gadis kecil yang kuat, engkau berkata bahwa aku akan selalu dilimpahi banyak cinta, engkau berkata bahwa aku akan selalu tersenyum bahagia. Mungkin dengan kata lain, itu adalah doamu yang engkau panjatkan untukku. Ibu, ini proses yang harus kujalani bukan ? Bagian dari takdir yang sudah digariskan. Nanti aku pasti mendapatkan pangeranku, bu. Seperti semasa engkau gadis yang bertemu dengan seorang jejaka yang pada akhirnya menjadi suamimu dan menghadirkanku ke dunia ini¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬.
Pasti aku hidup bahagia seperti kalian dengan proses yang bermakna. Seperti engkau semasa gadis saat disatukan dengan seorang jejaka, yang saat ini telah menjadi bapak. Aku terpejam dan tersenyum. Kurasakan belaian tanganmu masih bertahan disana, bu. Sekali lagi, aku nyaman.
Aku nyaman, bu. Baiklah, aku akan bercerita jika engkau sudah memaksaku seperti ini dengan nyanyian merdumu. Ibu, apakah engkau masih ingat saat kemarin aku tersenyum menjabarkan bunga yang tengah mekar di hatiku ? Iya, bu. Hampir sama tapi tidak mirip seperti kala itu. Tentunya engkau telah mengecap asam garam perihal hati meski tak beragam seperti anakmu ini. Baiklah aku hanya akan melemparkan pertanyaan dan engkau pasti kan mengerti cerita yang hendak kusampaikan dengan klise, bu.
Ibu, apakah setiap orang yang tengah jatuh cinta akan melakukan seperti yang kulakukan ?
Seperti saat aku bersembunyi dibalik rimbunnya pohon demi menunggu dia lewat dan berbelok di persimpangan itu.
Seperti saat aku nekat menunggu dia di depan pintu rumahnya dengan menenteng olahan tanganku dan akhirnya hanya kuletakkan di teras, berharap dia yang mendapatinya.
Seperti saat aku memeluknya erat dan mengungkapkan perasaanku dengan linangan air mata.
Seperti saat aku menunggunya di tempat yang telah mulai sepi karena larut malam hanya karena ingin bertemu dengannya.
Seperti saat aku berusaha ada meski ia acuh tak acuh terhadapku.
Seperti saat aku bersembunyi dibalik rimbunnya pohon demi menunggu dia lewat dan berbelok di persimpangan itu.
Seperti saat aku nekat menunggu dia di depan pintu rumahnya dengan menenteng olahan tanganku dan akhirnya hanya kuletakkan di teras, berharap dia yang mendapatinya.
Seperti saat aku memeluknya erat dan mengungkapkan perasaanku dengan linangan air mata.
Seperti saat aku menunggunya di tempat yang telah mulai sepi karena larut malam hanya karena ingin bertemu dengannya.
Seperti saat aku berusaha ada meski ia acuh tak acuh terhadapku.
Ibu, apakah setiap orang yang jatuh cinta akan merasakan seperti yang kurasakan ?
Ketika jantungku berdebar menanti kedatangannya menemuiku untuk menghabiskan waktu bersama.
Ketika aku turut tersenyum melihat wajahnya dengan banyak ekspresi yang membuatnya sering tersipu. Ketika aku cemas jika ia tak datang padaku sekedar menyapa atau bercengkerama mengenai hari-hari. Ketika aku selalu memutar otak mencari cara agar dapat membuatmu selalu tertawa, melupakan kepenatanmu.
Ketika aku merasa dapat memahami hatinya tanpa harus ia ungkapkan, seolah mengiyakan semua itu dia menyandarkan kerapuhannya padaku dan aku merasa berarti.
Ketika jantungku berdebar menanti kedatangannya menemuiku untuk menghabiskan waktu bersama.
Ketika aku turut tersenyum melihat wajahnya dengan banyak ekspresi yang membuatnya sering tersipu. Ketika aku cemas jika ia tak datang padaku sekedar menyapa atau bercengkerama mengenai hari-hari. Ketika aku selalu memutar otak mencari cara agar dapat membuatmu selalu tertawa, melupakan kepenatanmu.
Ketika aku merasa dapat memahami hatinya tanpa harus ia ungkapkan, seolah mengiyakan semua itu dia menyandarkan kerapuhannya padaku dan aku merasa berarti.
Ibu, apakah setiap orang yang jatuh cinta akan selalu sepertiku ini ?
Yang selalu ingin berada di dekatnya.
Yang selalu ingin berguna untuknya.
Yang selalu ingin membuatnya bahagia.
Yang selalu ingin ia mendapat yang terbaik.
Yang selalu ingin berada di dekatnya.
Yang selalu ingin berguna untuknya.
Yang selalu ingin membuatnya bahagia.
Yang selalu ingin ia mendapat yang terbaik.
Ibu, apakah setiap orang yang menyayangi akan seperti aku ?
Yang rela melakukan apapun untuk membuatnya tersenyum.
Yang mau mengorbankan apapun untuk membuatnya bebas.
Yang rela merasakan sakit demi ketenangannya. Yang mau ditinggalkan olehnya daripada harus meninggalkannya dan menorehkan luka.
Yang rela melakukan apapun untuk membuatnya tersenyum.
Yang mau mengorbankan apapun untuk membuatnya bebas.
Yang rela merasakan sakit demi ketenangannya. Yang mau ditinggalkan olehnya daripada harus meninggalkannya dan menorehkan luka.
Ibu, apakah setiap orang yang patah hati pasti seperti aku saat ini ?
Dapat tersenyum lebar dalam keramaian dan menangis pada saat kesendirian.
Dapat berkata “bisa” dan terpuruk pada akhirnya.
Dapat melupakan meski sesaat dan kemudian teringat dalam isakan.
Dapat berpura-pura mengikhlaskan dan melapangkan dada setiap waktu.
Dapat berubah menjadi manusia munafik dalam sekejap mata dengan tempo waktu yang lama.
Ibu, engkau sudah dapat menebak dengan apa yang terjadi padaku. Sudah aku ceritakan semua, bu. Ini kegilaan anak gadismu yang tengah terserang virus merah jambu. Aku sudah stadium lanjut, bu. Aku sedang koma, menghadapi masa kritis di pembaringanku. Apakah ini kelalaianku dalam urusan cinta, bu ? Ataukah memang selalu seperti ini siklus dari virus yang menggerogoti hatiku ?
Ibuku sayang, apakah itu yang konon katanya adalah CINTA ? Benarkah itu, ibu ? Katakanlah.Dapat tersenyum lebar dalam keramaian dan menangis pada saat kesendirian.
Dapat berkata “bisa” dan terpuruk pada akhirnya.
Dapat melupakan meski sesaat dan kemudian teringat dalam isakan.
Dapat berpura-pura mengikhlaskan dan melapangkan dada setiap waktu.
Dapat berubah menjadi manusia munafik dalam sekejap mata dengan tempo waktu yang lama.
Mataku mulai terasa panas, pipiku pun sudah terasa basah. Katakanlah. Nafasku sudah tak beraturan, suaraku pun telah sirna. Jika itu memang benar, ibu. Aku bersyukur karena akhirnya aku mengerti konsep mencintai yang menurutku berarti memberi tanpa pamrih, tanpa berharap balasan, hanya bertujuan memberi dengan ikhlas. Pemberian yang meski diberikan terus menerus tak akan pernah bisa habis kecuali dihentikan. Seperti engkau yang mencintai anak-anakmu. Seperti Tuhan yang mencintai umat-Nya. Seperti bapak yang mencintaimu, ibu. Apakah pemikiranku itu benar, bu ? Ah, engkau tentu membenarkan karena bagimu urusan hati tidak ada yang dapat dipersalahkan.
Aku terdiam mencari penutup yang pas untuk cerita kali ini, bu. Bersabarlah sebentar. Engkau mengusap kepalaku sepanjang aku bercerita, jemarimu membelai rambut panjangku seolah hendak menghitung helai demi helai. Baiklah, ibu. Engkau berkata bahwa diriku selalu tahu yang terbaik untuk diriku sendiri, engkau berkata bahwa aku ini gadis kecil yang kuat, engkau berkata bahwa aku akan selalu dilimpahi banyak cinta, engkau berkata bahwa aku akan selalu tersenyum bahagia. Mungkin dengan kata lain, itu adalah doamu yang engkau panjatkan untukku. Ibu, ini proses yang harus kujalani bukan ? Bagian dari takdir yang sudah digariskan. Nanti aku pasti mendapatkan pangeranku, bu. Seperti semasa engkau gadis yang bertemu dengan seorang jejaka yang pada akhirnya menjadi suamimu dan menghadirkanku ke dunia ini¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬.
Pasti aku hidup bahagia seperti kalian dengan proses yang bermakna. Seperti engkau semasa gadis saat disatukan dengan seorang jejaka, yang saat ini telah menjadi bapak. Aku terpejam dan tersenyum. Kurasakan belaian tanganmu masih bertahan disana, bu. Sekali lagi, aku nyaman.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Katakan katamu (~‾ ▽‾)~